Aku tak pernah tahu, orang seperti apa yang kelak Tuhan takdirkan untukku. Bahkan aku tak pernah tahu seperti apa sosoknya. Apakah ia yang ku kenal atau sama sekali tak ku kenal? Sekali lagi, aku tak pernah tahu.
Mungkin ia bukan seseorang yang ku harapkan, namun aku berharap semoga ia adalah seseorang yang ku butuhkan.
Siapapun itu, inginku, seseorang itu menyukaiku dan ku sukai.
Ketika membicarakan sebuah pernikahan adalah penting kita menilik pada pemenuhan tiga aspek, yaitu biologis, social dan psikologis. Dimana ketiganya tersebut sangat berkaitan. Jika salah satu pemenuhan aspek tersebut tak terpenuhi maka akan jomplang hasilnya atau bolehlah kita sebut cacat.
Witting tresno jalaran soko kulino. Istilah jawa yang sering didengung-dengunkan. Kata seorang teman, aku adalah perempuan, maka tak ada masalah ketika sebuah pernikahan tersebut tak didasari rasa cinta, toh nantinya rasa cinta itu akan mengikuti dengan sendirinya. Baiklaaah. Ya memang mungkin kebiasaan itulah yang akan menumbuhkan cinta, namun jika keadaannya sebaliknya bagaimana? Ketika seseorang itu justru menikahi hanya untuk memenuhi sebuah kewajiban saja? Missal setelah dua puluh tahun menikah dan mempunyai anak sebelas, namun rasa cinta itu justru tak muncul jua? “Dihamili tanpa cinta?” Naudzubillah… bukankah sebuah pekerjaan yang hanya sekedar memenuhi kewajiban merupakan level teredah dalam menjalankan sesuatu.
Sementara bagaimana jika seseorang yang kita harapkan namun tak mengharapkan kita? Menyedihkan sekali bukan? Bahkan sangat melelahkan sekali jika sampai itu terjadi. Atau mungkin ia pun mengharapkan kita namun ada hal prinsipil yang menjadi pembeda? Entahlah, yang jelas setiap orang yang memutuskan untuk menikah, pasti berharap pernikahannya tersebut hanya akan terjadi satu kali. Dan tentunya berharap akan membawa kebahagiaan, kedamain dan ketenangan dalam hidupnya. Sesuatu yang mustahil jika semua itu tanpa didasari keikhlasan dan kemantapan hati. Hingga sakinah itu tercipta melalui mawaddah untuk membentuk kelompok inti pembangun peradaban pencetak generasi rabbani.
Itu mengapa cinta menurutku merupakan hal esensi. Mungkin banyak yang menganggap bahwa cinta merupakan hal remeh temen yang tidak perlu diperhatikan dalam sebuah pernikahan, dan tak jarang mengebelakangkan sisi manusiawi seperti rasa kasih sayang dan cinta itu sendiri. Jika kembali pada pemenuhan tiga aspek diatas, adalah penting memperhatikan cinta, ehm.
Sama sekali tak bermaksud memprovokasi agar mencintai lawan jenis secara dramatis, bombastis, dan spektakuler. Tapi setidaknya memperhatikan aspek yang satu ini.
Tak ada yang sempurna didunia ini. Begitupun dengan pengharapan kita pada seseorang yang kita anggap memenuhi kriteria kita. Sampai matipun kita tidak akan pernah menemukannya. Pencarian tersebut hanya akan berujung pada kesia-siaan dan membuat jiwa kita lelah. Semua ini hanya semacam bentuk usaha mahkluk bernama manusia yang sejauh mana ia bisa menerima pasangan kita nantinya apa adanya, begitupun sebaliknya. Hey, bukankah ini inti dari semuanya? Menerima dan diterima apa adanya.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)
What’s the next?
Yang perlu kita lalukan untuk saat ini adalah memperbaiki diri untuk menjadi yang terbaik kelak ketika dipertemukan dengannya. Dengan sesuatu itu, upz, seseorang maksudnya.
tul nobody is perfect
ReplyDeleteyakiiinn...yang terbaik juga sedang mencari kita shine--kita tunggu tanggal mainnya,,,saaabbaaaar
ReplyDelete@mba Fanny : that's right, mba :)
ReplyDelete@ocay : so swiiiit... I like your style, my dear :*