Malam itu ku peluk sepi. Tak ada yang sudi memelukku melainkan Allah itu sendiri. Semua kalimat yang dilontarkan para pelayat begitu meruntuhkan imanku.
Kenapa tidak lebih awal di bawa ke RS? Kenapa begini begitu? Kenapa-kenapa lainnya yang tak kenal henti menyerangku. Seolah aku ini Ibu yang tak berguna.
Lalu...
“Seharusnya begini begitu... Makanya jangan ngoyo... Sudahlah sekarang mah ambil hikmahnya aja untuk pelajaran.” Seolah meraka paling mengerti akan semua yang terjadi.
Ingin rasanya memuntahkan amarahku seketika itu juga! Siapa yang paling ngoyo? Apakah tidak berkaca pada diri sendiri? Waktuku 24 jam untuk anak, sementara kalian? Tapi mereka tidak pernah melihat itu! Mereka melihat apa yang terjadi hari itu saja dan berani mengecapku ngoyo. Herannya yang keluar dari mulutku justru ucapan terimakasih. Betapa ironisnya hidup...
Apakah semua kalimat tersebut salah?
Tidak! Sama sekali tidak! Kalian semua berhak mengataiku apa saja karena bagaimanapun kondisinya, kronologisnya, seorang ibu selalu salah ketika menghadapi kenyataan anaknya berpulang ke rahmatullah...
Ya, kalian berhak, silahkan...
Biarkan, biarkan hati aku saja yang luka dengan siraman raksa kalimat-kalimat tersebut. Ku genggam erat bajuku kuat-kuat, ke peluk tubuhku sendiri, air mata entah yang ke berapa tumpah dan meleleh tak henti-henti. Aku butuh sendiri.
Keesokan harinya suami baru datang, ia begitu tegar ku lihat, begitu kuat menghadapi kenyataan pahit ini. Meski matanya sembap, aku yakin ia pun sama sepertiku, menguat-nguatkan hati, mengontrol diri sebagai imam dalam keluarga ini.
Malamnya kami menangis saling bepelukan.
Aku tak henti-hentinya meminta maaf, menjelaskan semua yang terjadi. Aku pasrah, menunggu omelannya, menunggu kemarahannya, aku sudah siap!
Ayoo.. Ayooo bi, marahi aku!
Namun?
“Sudah Ay, apapun kondisinya memang semua sudah takdirnya, semua sudah Allah gariskan begitu. Insya Allah yang terbaik. Badi sudah tenang, tinggal kita saja berbenah siapkan diri yang cepat ataupun lambat, akan menyusulnya. Mau bagaimanapun jalannya, Allah sudah catat jam sekian tanggal sekian, insya Allah semuanya yang terbaik. Bahkan dokter sekalipun tak bisa menyelematkan nyawanya sendiri ketika ajal menjemput.”
Nyeeess, rasanya...
Ya Rabb T.T, diluar dugaanku, suami malah tak henti-henti memotivasi. Allah ya Karim, betapa saat itu aku bersyukur berkali lipat telah menghadirkan ia untukku.
See? Bahkan yang paling dekat sekalipun, yang berhak untuk marah, berhak untuk mengatakan apapun, ia malah menjadi obat penenang bagiku.
Malam itu beberapa kali aku dibangunkannya,
“Istighfar Ay, Istighfar!” Aku tak mengerti maksudnya apa. Setelah siang ia cerita bahwa aku terus saja mengigau :
“Badi... Badi... Badi... Badi itu aku yang mengandungnya 9bulan kan bi? Aku yang melahirkannya kan? Badi dimana bi? Badi mana?”
Maafkan Umi Nak, yang bahkan tak kuasa menolongmu.
Terimakasih atas 4 bulan yang sangat berharga.
Baca Juga : Anak Ketiga, Proses Lahiran Tercepat Yang Pernah Dialami
Aku paham selalu ada hikmah dibalik semua kejadian, namun tidak bisakah membiarkan aku sendiri untuk mengambil hikmah tanpa perlu dihakimi? Yang paling menyakitkan dari kehilangan adalah kenangan dan kalimat penghakiman. Mungkin niatnya baik hanya kondisinya saja yang kurang tepat. Dan tahukah? Kalimat-kalimat tersebut justru menjerumuskanku ke lembah paling dalam bernama penyesalan dan menyalah-nyalahkan diri sendiri. Kalau sudah begitu, siapa yang dapat menolongku dari jurang tersebut? Allah, waktu dan hati orang-orang yang tulus.
Jadikan sabar dan shalat sebagai penolong...
Jadikan sabar dan shalat sebagai penolong...
Nasihat indah suami setiap kali ada saja ucapan yang menghujam hati, mengorek-ngorek luka yang belum sempat mengering.
Dari kejadian ini begitu banyak pelajaran berharga yang ku genggam. Berikut Do & Don't ketika berkunjung ke rumah duka (yang ku alamatkan sebagai nasihat diri pribadi) :
- Berkunjunglah ke orang yang ditimpa musibah dengan bijak, jika tidak bisa berkata bijak, diamlah sebagai solusi.
- Ngaji atau berdoa, baik mendoakan yang telah pergi maupun keluarganya agar diberi ketabahan
- Jangan asik ngerumpi. Apalagi ngerumpinya karena kepo dengan kronologis yang terjadi. Alih-alih ingin peduli, malah menambah duka mendalam dan menyudutkan.
- Nasehati yang berduka dengan kalimat-kalimat thayibah, seperti dzikir, tahlil, takbir yang mengingatkan akan kuasa Allah.
- Peluk
Karena tahukah? Orang yang kehilangan itu sudah sangat luka dengan kehilangan yang dicinta, bengkaknya ASI dan begitu sakit mengiris hati ketika setiap tetes ASI yang keluar mengingatkanku akan Badi, jadi jangan menambah-nambahinya dengan mengucapkan kalimat yang tak tepat waktu dan kondisi.
Sekali lagi terimakasih, terimakasih telah peduli. Telah ku ikhlaskan rasa sakit itu dengan khusnudzon yang sangat mendamaikan hati.
Karena terlepas apapun, sesungguhnya kalianlah sahabat sejati. Seperti cerita Ali bin Abu Thalib :
Seseorang berkata kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra :
"Ya Ali, kulihat sahabat-sahabatmu begitu setia sehingga mereka banyak sekali, berapakah sahabatmu itu ?"
Sy. Ali menjawab :
"Nanti akan kuhitung setelah aku tertimpa musibah"
Insya Allah setelah ini, aku ingin normal lagi, beraktifitas lagi, ngeblog lagi... Untuk menjaga kewarasan, untuk menyulap luka menjadi obat penawar. Bismillah!
Alfatihah utk Badi ya mbak.
ReplyDeletePeluk dari jauh utk Umi-nya yang tegar.
Mbak... peluk dari jauh..
ReplyDeletepeluk dari jauhhh mbakk..
ReplyDeletekandungan susu kental manis
Al-Fatihah untuk Badi sayang, peluk untuk mba insyaAlloh mba adalah hambaNya yang terpilih dan kuat dengan semua ujian ini
ReplyDelete